Irma
Safitriani
kilau senja dari ufuk barat membawa sinar merah
jatuh
diatas bentang biru yang mulai meredup
aku terbaring berhambur di pasir meraung kesakitan
memutar-mutar tubuh yang hilang kendala
rebah, jatuh, remuk, melepuh, semua mengiris kejam tak berperasaaan
rebah, jatuh, remuk, melepuh, semua mengiris kejam tak berperasaaan
Nyiur dari sana kulihat enggan bergerak
menutup rapat jijik akan perasaanku yang terlambat
hujan yang turun seolah menyambut sedih
menutup rapat jijik akan perasaanku yang terlambat
hujan yang turun seolah menyambut sedih
aku yang tak sadar diri seakan lupa bagaimana bayang
itu memohon
air mata tak ada
lagi arti semua telah hilang dalam suasana yang ku buat
lambaian itu tak ingin kembali lagi yang terbit hanyalah
kesendirian dan kesepian
Bagaimana jantung akan berdegup sementara darah telah
memutih
muka seolah
berubah bentuk tak lagi bernyawa
aku
telah kehilangan senyum yang tak dapat ku lihat lagi
angin telah membawa jauh ia ke dalam sangkar emas yang
tak bisa ku raba
di setiap aku
ingin kembali ada batas yang selalu menghadang
Aku tersandung di hati yang salah dan kini aku tak dapat
bangun lagi,
aku seakan
berada dalam tawa mereka yang remeh
untuk
apa hanya menangis menyaksikan kesenangan mereka sementara diri yang jadi
ledekan
aku malu, malu dan sangat malu
bisakah aku kembali untuk tak mengingat?
burung bersayap kecil itu pun merasa iba melihatku
aku tau itu, dan dalam hati aku menjerit rakus menggema
memekik ingin dibawa pergi jauh dari kenyataan ini.